RSS Feed

Berastagi - Tanah Karo

Posted by Mabring


Bukan orang Medan namanya jika belum menginjakkan Berastagi. Kota sejuk di lereng Sinabung ini menjadi tujuan wisata utama orang Medan. Bisa ditempuh dengan satu jam berkendara, kota yang berjarak 66 km dari Medan ini menjadi tujuan utama wisata akhir pekan. Mirip kawasan Puncak bagi orang Jakarta, atau Selecta buat orang Surabaya.

BERASTAGI adalah dataran tinggi di Sumatera Utara yang didiami oleh suku Karo dan di diami beberapa suku pendatang seperti Chinese, Aceh, Jawa, Batak Toba, Dairi dan sebagainya, sekitar 70 KM dari pusat kota medan, Kota Kecamatan Berastagi yang berada di Kabupaten Karo, dan direalisasikan menjadi Pemerintahan Kota (Pemko)


Kota Berastagi berada di dataran tinggi Karo di hamparan pegunungan Bukit Barisan, dengan ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut dan bersuhu bekisar 16 – 17 C. Dari kota ini terlihat dua gunung vulkanik dengan panorama alam yang sangat menakjubkan, yang masih aktif mengeluarkan uap panas, yaitu Gunung Sibayak (berarti Raja dalam bahasa Karo) dan Gunung Sinabung.



Kota Berastagi terkenal dengan nama “Kota Markisa dan Jeruk Manis.” Dinamakan demikian, karena banyaknya petani di sana yang menanam markisah dan jeruk manis. Pada saat ini tidak hanya buah markisa dan Jeruk manis yang ditanam petani, namun juga buah strawberi dan terong Belanda. Para petani juga banyak yang menanam sayur-sayuran dan tanaman hias dan hasilnya dijual ke Kota Berastagi.
Di Berastagi kita bisa berbelanja sayur dan buah dengan harga murah. Markisa dan timun Belanda segar selalu tersedia di pasar. Berjalan sepanjang pasar memanjakan mata. Buah-buahan segar dipajang berderet, dengan harga yang menggiurkan. Di pasar pula bisa kita jumpai bunga-bunga segar, yang siap dirangkai untuk acara pesta atau hajatan.
Setiap tahunnya, di Kota Berastagi dilaksanakan tradisi saling berkunjung antarsaudara atau yang dikenal dengan tradisi kerja tahun. Pada saat itu, orang-orang Karo yang ada di perantauan pulang ke kampung untuk mengunjungi sanak saudaranya. Selain tradisi kerja tahun, ada juga tradisi tahunan lainnya, yaitu PESTA BUNGA & BUAH dan PESTA MEJUAH-JUAH.
Kota Berastagi tidak begitu luas. Di kota ini, pengunjung dapat melakukan wisata belanja dengan berkunjung ke pasar atau pajak (pasar tradisional) sentral yang berada di pusat kota. Beragam produk khas Berastagi dijual di sana, seperti souvenir, buah-buahan, sayur-sayuran dan tanaman hias. Selain wisata belanja, pengunjung juga dapat menikmati wisata berkuda dengan menyewa kuda yang ada di sekitar pasar. Para jokinya berpenampilan sederhana, namun sangat terlatih dan siap menjadi guide bagi para pengunjung.
Tak banyak yang tahu kalau Berastagi pernah menjadi tempat pembuangan Bung Karno paska agresi militer Belanda  22 Desember 1948. Namun Bung Karno tak lama disembunyikan Belanda di sini. Awal Januari 1949 presiden pertama RI ini segera dipindahkan ke Parapat. Rupanya Belanda takut diserbu Laskar Rakyat, pejuang Karo yang pendukung berat BK.
Sebelum memasuki Berastagi akan kita lewati papan nama bertuliskan ‘Tahura’. Itulah Taman Hutan Rakyat yang menyajikan wisata di udara bebas yang menyenangkan. Di hari Minggu atau hari-hari besar, Tahura ramai oleh pengunjung. Umumnya mereka adalah yang merindukan kesejukan dan hijau pemandangan.




Di dekat Kota Berastagi, pengunjung dapat menikmati wisata arsitektur khas Karo di perkampungan-perkampungan sekitar kota, berupa rumah-rumah adat yang berusia sekitar 250 tahun, tempat musyawarah (jambur), dan tempat menyimpan kerangka mayat (geriten).

Dari Kota Berastagi, pengunjung akan mudah mengunjungi objek wisata lainnya yang berdekatan atau pun berjauhan dengan kota ini, seperti Gunung Sibayak dan Sinabung yang berjarak sekitar 7 km; objek wisata sumber air panas Lau Debuk-Debuk di Desa Daulu dan Semangat Gunung yang membutuhkan waktu lebih kurang 30 menit dengan mengendarai roda empat/ dua; objek wisata Bukit Gundaling (wisata perbukitan) yang berjarak sekitar 3 km; dan objek wisata Tongging yang berjarak sekitar 35 km di mana pengunjung dapat menikmati keindahan Danau Toba.

Gundaling

Bosan ke Pasar Beratagi, kita bisa berkuda menaiki bukit Gundaling. “Goodbye Darling,” kata teman, artinya di puncak bukit ini kerap sepasang anak manusia sejenak memadu kasih, lalu berpisah. Kini mendaki Gundaling tak perlu naik kuda, banyak oto yang siap mengantarkan kita kapan saja.
Dalam perjalanan ke Gundaling, kerap kita jumpai kedai bertuliskan ‘Di sini tersedia susu kuda liar!’. Maksudnya bukan susu kuda liar ala Sumbawa, karena kuda di sini tak lagi hidup liar. Tapi secangkir kopi susu yang nikmat. Itu saja.
Sepanjang perjalanan bisa kita saksikan hamparan kebun sayur dan buah, diselang-selingi rumah penginapan, mulai hotel kelas atas hingga losmen sederhana. Gundaling memang tempat yang strategis buat menghabiskan akhir petang. Di beberapa hotel kerap diadakan pementasan tari tradisional Karo yang diiringi gendang Karo, yaitu seperangkat alat musik terdiri dari sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, gendang penganak, dan gung. Sepintas suaranya mirip gamelan Sunda.

Lau Debuk-Debuk

Kalau kita berkendara dari Berastagi menuju Medan, ada pertigaan di kiri jalan dengan papan nama bertuliskan “Lau Debuk-Debuk’. Menempuh jalan beraspal sekitar 300 m, lalu menurun lewat jalan setapak, kita akan dituntun memasuki kawasan kolam-kolam berwarna biru keruh. Beberapa pengunjung nampak berendam di situ.
Lau itu sebutan sungai atau sumber air dalam bahasa Karo. Lau Debuk-debuk adalah sumber air panas yang mengandung belerang. Konon sumber air ini berasal dari kawah Gunung Sibayak. Lau Debuk-Debuk memang berada di pertemuan lereng antara Gunung Sinabung dan Sibayak.
Lau Debuk-Debuk dipercaya mampu menyembuhkan berbagai penyakit, baik penyakit kulit maupun organ dalam. Di sini kerap pula dilakukan upacara bagi pemeluk kepercayaan Parmalim. Tak jauh dari sumber air panas ini, terdapat makam tua yang dipercaya sebagai makam pemuka Parmalim.
Parmalim merupakan kepercayaan yang dianut suku Karo maupun Batak sebelum masuknya agama resmi negara seperti Kristen, Islam, atau Hindu. Ajaran ini pernah dilarang sebelum era reformasi. Kini pemeluk Parmalim bebas menjalankan ibadahnya.
Kabanjahe

Sepanjang perjalanan dari Berastagi menuju Kabanjahe, Sinabung Jaya akan melalui areal pertanian yang subur. Kadang terhampar kebun jeruk yang buahnya bergelantungan siap dipanen, kadang kebun kubis, asparagus, bahkan juga kebun bunga. Sesekali kita akan menjumpai para petani berjalan menuju kebunnya. Yang perempuan mengenakan jujung, kain yang diletakkan di atas kepala dengan bentuk kas. Yang lelaki memikul cangkul dan keranjang bambu.
Satu dua gereja dengan arsitektur tradisional bermunculan. Sungguh tempat yang mempesona. Sudah subur tanahnya asri pula pemandangannya. Nampak kuat  penduduknya memegang tradisi.
Setengah jam kemudian sampailah kita di Kabanjahe, ibukota Kabupaten Tanah Karo.. Kabanjahe tidaklah sedingin Berastagi. Di sini terdapat Makam Pahlawan, lalu kedai kopi susu yang sangat nikmat. Ada juga pasar kecil yang menjual kerajinan uis gara –semacam ulos bagi orang Karo—yang harganya bisa ditawar. Penghuni kota ini sangat ramah dan halus gaya bicaranya. Serupa orang Solo atau Jogja kalau di Jawa.
Di Kabanjahe nampak toleransi beragama antara muslim-nasrani. Tidak seperti Batak Toba yang mayoritas nasrani, atau orang Mandailing yang mayoritas muslim, di Karo jumlah muslim dan nasrani berimbang.
Desa Lingga

Mudah mencapai Lingga, cukup naik angkot 06 dari terminal Kabanjahe. Desa di  Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo, ini cukup unik. Terletak di ketinggian 1200 meter dari permukaan laut, Lingga merupaka satu dari sedikit desa di Karo yang menyisakan rumah adat Karo. Desa lainnya adalah Dokan, Peceren, Serdang, Barus Jahe, Juhar, Gurusinga dan Cingkes.
Ada beberapa jenis rumah adat di sini. Ada jambur, waluh jabu, geriten, lesung, dan sapo page. Geriten adalah tempat menyimpan tulang belulang, biasanya bentuknya tertutup. Sedang lesung merupakan tempat menyimpan lesung yang akan digunakan untuk menumbuk padi. Padi disimpan di sapo page.


Ada belasan waluh jabu yang tersisa di Lingga. Yang paling tua berumur sekitar 200 tahun. Dinding waluh jabu ini terbuat dari kayu, sementara atapnya dari rumbia. Banyak atap rumbia itu berlumut tebal, menunjukkan betapa tua umurnya. Di bagian atas rumah terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga  yang disebut ayo.
Biasanya sebuah waluh jabu di Lingga memiliki dua atau empat ayo, menghadap ke arah yang berbeda. Di atas ayo baru diletakkan kepala kerbau yang berfungsi untuk menolak bala.  Sayang banyak rumah adat yang rusak atau kurang perawatan.
Pada Revolusi Sosial tahun 1946, banyak rumah adat yang dirusak dan dibakar rakyat.  Mereka takut waluh jabu bakal direbut dan didiami Belanda kembali. Rumah adat  menjadi tempat tinggal Sibayak dan keuarganya.
Bangunan semacam pendopo, Djambur Lingga namanya. Jambur merupakan tempat berkumpulnya para tetua adat dan lelaki. Ketika Sinabung meletus, Jambur menjadi tempat penampungan para pengungsi karena tempatnya yang luas.
Sambil berkeliling Lingga akan kita saksikan para pengrajin sagak, umumnya lelaki. Sagak atau bambu biasanya dianyam untuk dibuat keranjang. Keranjang ini kerap digunakan untuk mewadahi sayur dan buah yang dipanen. Selain berkebun, menjadi pengrajin sagak merupakan pekerjaan penduduk desa.


Kalau ingin mengetahui lebih jauh tentang budaya Karo, jangan lupa berkunjung ke  Museum Karo Lingga. Walau koleksinya tak banyak, tapi museum ini cukup informatif menyajikan pakaian adat Karo, alat musik tradisional, perangkat rumah tangga, dan aneka topeng yang digunakan dalam perayaan tradisional. Di depan museum ada Gereja St Petrus, lumbung padi Ginting, dan kompleks kuburan Sibayak dulu.
Lau Kawar

Di hari biasa, cukup sulit mendapatkan angkot yang langsung menuju ke Danau Lau Kawar dari Berastagi. Minimal kita harus berganti dua kali angkot, jurusan ke Desa Perteguhan, lalu menuju ke Lau Kawar. Itupun mesti mencarter sopir agar mau mengantarkan kita masuk ke lokasi danau. Itulah sebabnya, banyak pengunjung yang memilih berwisata ke Lau Kawar di hari libur.
Ada sebuah legenda yang dihubungkan dengan danau ini. Legenda tentang Desa Kawar. Konon desa ini tanahnya subur, penduduknya pun hidup makmur, karena hasil panen berlebih. Suatu hari diadakan pesta menyambut panen.  Seluruh penduduk diundang untuk mengikuti jamuan makan, musik, dan tarian. Namun ada seorang nenek yang tak bisa hadir karena dia lumpuh. Sendiri dia terbaring di ranjangnya.
Ketika orang sedang berpesta, makan makanan  enak sepuasnya, nenek itu justru kelaparan di rumahnya. Anak dan menantunya lupa siapkan makanan buat sang ibu. Baru sore menjelang ketika cucunya datang membawa makanan yang dititipkan ibunya untuk si nenek. Betapa kecewa hati nenek itu saat tahu bahwa makanan yang dibawa cucunya adalah sisa-sisa makanan. Rupanya si cucu telah memakan sebagian nasi tersebut. Nenek itu lalu menangis dan berdoa agar orang di desa dikutuk Tuhan. Tak berapa lama turun hujan lebat. Desa Kawar pun tenggelam, menjelma jadi Danau Lau Kawar.
Di hari biasa Lau Kawar amat sunyi. Bentangan airnya berlekuk dan memantulkan biru laut dan hijau pepohonan lebat di seberang danau. Danau ini luasnya sekitar 200 ha, berada di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Danau ini adalah satu dari dua danau di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Danau satunya adalah Danau Marpunge.
Di sekeliling danau ada rumah makan, bangunan berbentuk rumah adat yang berfungsi sebagai penginapan, dan jalan yang tertata rapi. Di musim liburan sekolah, bisa puluhan tenda berjajar di sini. Danau ini merupakan salah satu pos pendakian favorit menuju Gunung Sinabung. Butuh waktu sekitar 6 jam untuk menggapai puncak Sinabung. Kalau kita hanya punya waktu pendek, cukup mendaki Deleng  Lancuk, puncak bukit terdekat.
Aset wisata ini sayangnya kurang digarap serius oleh pemda Tanah Karo. Keterbatasan transportasi menjadi salah satu kendala. Belakangan banyak warga Karo yang berharap pemda mulai memberi perhatian khusus pada ekowisata. Bukankah Tanah Karo kaya akan pertanian sayur dan buah? Itu bisa menjadi daya tarik yang potensial. Semoga letusan Sinabung kali ini bisa menggugah pemda untuk lebih memperhatika aset tanah Karo.

0 komentar:

Posting Komentar